
Tapi tidak semua tentang serat karbon itu “cerah”. Dalam proses produksi, pemotongan, atau daur ulang, material ini bisa melepaskan partikel kecil ke udara. Serpihan tersebut bisa mengiritasi kulit dan, lebih berbahaya lagi, masuk ke paru-paru. Ini membuatnya dikaitkan dengan risiko kesehatan jangka panjang.
Apalagi, Eropa tengah menyusun regulasi baru soal daur ulang kendaraan “end-of-life”. Artinya, proses penanganan sisa material dari mobil yang rusak atau sudah tidak terpakai menjadi isu besar, dan serat karbon dianggap berpotensi menyulitkan proses daur ulang yang aman.
Bayangkan jika sebuah mobil atau motor karbon mengalami kecelakaan, lalu serpihan materialnya berserakan. Siapa yang bertanggung jawab membersihkan? Tanpa prosedur dan alat penanganan yang tepat, ini bisa jadi ancaman bagi para teknisi dan lingkungan sekitar.

Namun, karena manfaatnya dalam memangkas bobot kendaraan listrik dan meningkatkan efisiensi energi, serat karbon masih diberi ruang bernapas di pasar Eropa. Tapi penggunaannya tidak bisa sembarangan, harus disertai inovasi pada proses produksi dan sistem daur ulang yang lebih aman.
Kesimpulannya, serat karbon memang material masa depan, namun seperti pedang bermata dua. Kecanggihan teknologi ini harus diimbangi dengan tanggung jawab lingkungan dan kesehatan yang lebih besar.
Di Indonesia sendiri, serat karbon masih jadi pilihan beberapa pemilik motor atau mobil yang ingin memodifikasi kendaraannya. Selain dikenal ringan, serat karbon juga membuat tampilan kendaraan lebih sporty dan bernuansa racing. (Yuka/Contrib/NM)